Melihat Konflik di Mesir dan Syuriah membuat saya bertanya –
Tanya apa penyebab dari perang saudara tersebut? Hingga akhirnya saya Browsing
diInternet dan menemukan jawabannya pada Artikel www.Eramuslim.com, yang membuat saya miris
ketika mendengar penyebab perang tersebut. Perpecahan Umat Islam yang dimanfa’atkan
bangsa Israel
ini sangat disayangkan, dan seharusnya tidak perlu terjadi.
Berikut artikel yang berhasil saya Copas. Silahkan dibaca Semoga bisa menambah wawasan
dan membuat kita merasa Empati, dan saya harap ini menjadi contoh atas Ormas –
Ormas di Indonesia agar tetap bersatu dan tidak ada lagi kericuhan. Kita do’akan
saja Ikhwanul Muslim timar tengah agar mampu menegakkan dan mengokohkan bangsa
Muslimnya kembali. Semangat berjihad bukan berteroris.
Setelah beberapa hari mengikuti perkembangan di Mesir, akhirnya
saya memutuskan menulis tulisan ini. Dorongan itu muncul ketika banyak kalangan pro dan kontra beradu opini
di berbagai media. Suatu fenomena lumrah di era keterbukaan.
Namun
sayangnya ada beberapa gelintir individu maupun kelompok justru kebablasan –
atau sengaja kebablasan – dalam menyajikan opini. Beberapa diantaranya
cenderung melakukan serangan yang sayangnya absurd dan tak berdasar bahkan jauh
dari faktual. Sebut saja saudara kita Zuhairi Misrawi, analis politik Timur
Tengah dan politisi muda yang mengaku memperjuangkan prinsip demokrasi yang
secara serampangan berkicau soal konflik di Mesir dalam akun twitternya.
Ada juga
kandidat Doktor Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran Dina Y Sulaeman
dalam artikelnya Pemetaan Konflik Mesir yang dimuat oleh indonesia.irib. Salah
satu tokoh yang diduga kuat berafiliasi ke Syiah tersebut latah dengan
artikelnya dengan membeberkan beberapa fakta dan mitos yang juga jauh dari
faktual.
Yang lebih menyakitkan lagi adalah salah satu anggota
kelompok pergerakan Islam yang cukup bertaji di negeri ini justru ‘mensyukuri’
kejatuhan Mursi. Dalam sebuah diskusi kecil, beliau menganggap bahwa
demokrasilah biang dari hukuman Allah kepada Mursi dan pengikutnya. Sebab
demokrasilah yang memaksa manusia berhukum pada hukum selain Hukum Allah. Dan
sebagai akibatnya, adzab Allah turun atas mereka. Saya berharap ini hanya opini
individu saja sebagai oknum dari organisasi yang menaunginya. Walau dalam beberapa
kasus ada BBM yang beradar soal ini yang mengatasnamakan organisasi tersebut.
Ini hanya kasus dalam lingkup Indonesia saja.
Tak terhitung tokoh Islam dan non Islam yang secara terang-terangan mendukung
kudeta di Mesir. Sebut saja Raja Arab Saudi, Uni Emirat Arab , Kuwait ,
bahkan tokoh sentral Mesir sekelas syaikh di Universitas Al-Azhar Ahmad Thayyib.
Saya sendiri sebetulnya tak terlalu terkejut dengan kejadian-kejadian di
atas. Sebab inilah hasil gemilang sebuah ‘Grand Design’ yang sudah
dipersiapkan sejak ratusan tahun lalu. Sebuah upaya pelemahan dalam rangka penguasaan untuk memudahkan jalan
menuju “Tatanan Dunia Baru” dengan Palestina sebagai pusatnya. Inilah amanat
Tuhan untuk bangsa Yahudi sebagai mana tercantum dalam Taurat yang
disempurnakan oleh Talmud.
Usaha tersebut dimulai pada tahun 1880-an,
tokoh-tokoh Yahudi Rusia mendirikan organisasi yang bernama Hibbat Zion. Kebanyakan
Yahudi Rusia terkemuka ikut bergabung dalam organisasi ini. Nama penting yang
ikut bergabung dengan Hibbat Zion
adalah Leon Pinsker. Pada tahun 1882, Pinsker menerbitkan buku Auto-Emansipation.
Dalam buku tersebut ia menyatakan bahwa Yahudi harus memiliki negara sendiri, dan
untuk itu para pemimpin Yahudi harus berkumpul untuk membahasnya. Maka pada tahun 1884, Pinsker
memimpin konferensi pertama di Kanovitz, Polandia. Konferensi kedua
dilaksanakan pada tahun 1887 di Druskieniki. Dalam konferensi ini disepakati
untuk menyebut gerakan sebagai Hovevei Zion. Dan Pinsker kembali
terpilih untuk memimpin gerakan.
Konferensi-konferensi berikutnya segera menyusul. Dan sebagai puncaknya,
pada tahun 1897, diselenggarakan Konferensi Zionisme Pertama di Basel, Swiss, di
bawah pimpinan Theodore Hertzl seorang yahudi Austria.
Kongres ini sebagai tindak lanjut dari doktrin-doktrin politik Theodore
Herzl yang dituangkan dalam bukunya Der Judenstaat.
Prestasi dari kongres ini adalah sebuah kredo formal yang merupakan azas
Nasionalisme Zionis atau Negara Israel itu sendiri yang berbunyi, ”Bahwa tujuan
utama dari zionisme adalah untuk menciptakan rumah bagi bangsa yahudi di
Palestina yang terjamin dengan perundang-undangan.”
Langkah pertama yang dilakukan
oleh Herzl adalah mendirikan organisasi zionis yaitu The Jewish Colonial Trust (1898),
The Colonisation Commision (1898), The Jewish National Fund (1901), dan The
Palestine Land Development Company (1908).
Selain itu, dihasilkan pula poin-poin
penting sebagai langkah jangka panjang yang termuat dalam Protokol Para Tetua
Zion atau yang sering disebut Protokol Zion. Yang merupakan paparan dari 25
langkah menguasai dunia hasil dari pertemuan Sir Meyer Amschel Rotshchild
dengan 12 tokoh yahudi internasional pada tahun 1773 di kediamannya di
Judenstrasse, Bavaria. Protokol ini merupakan panduan kerja secara umum semacam
AD/ART.
Dalam protokol inilah semua
langkah-langkah kerja dirumuskan. Mulai dari menguasai pemimpin sebuah negara, menciptakan makar, adu
domba, sampai ke penguasaan media massa.
Langkah selanjutnya membujuk Sultan Abdul Hamid agar mengizinkan
kedatangan imigran Yahudi ke Palestina. Usaha ini gagal. Namun dengan makar, Sultan
Abdul Hamid bisa ditaklukkan. Melalui tangan Mustafa Kemal Attaturk, Zionis
berhasil menjinakkan sultan sekaligus menghapus Sistem Pemerintahan Khilafah.
Saat itu, yahudi sudah mulai
menguasai eropa dengan kekuatan ekonomi melalui dinasti Rothschild. Dimulai
oleh Meyer Amschel Rotshchild. Kemudian dilanjutkan lagi oleh kelima anaknya. Sehingga mereka hanya perlu
menguatkan dan mengarahkan pengaruh yang sudah ada di Inggris dan di negara-negara
Eropa itu demi meraih cita-cita mereka.
Gerakan Zionisme bersama dengan
beberapa politisi penting di Inggris, termasuk A.J. Balfour dan Herbert Samuel
bahu membahu dalam merealisasikan visi gerakan itu. Dan menurut Ilan Pappe, keberhasilan
utama mereka adalah dalam membangun kelompok lobi yang kokoh, terdiri dari
orang Yahudi dan non-Yahudi, yang berpusat pada keluarga Rothschild. Hasilnya
adalah Deklarasi Balfour.
Deklarasi Balfour ini sebagai
tonggak awal penguasaan zionis terhadap palestina. Pada tanggal 11 Desember 1917 Jenderal Allenby
berhasil memasuki Kota Yuresalem dan di dalamnya masuk pula sukarelawan yahudi.
Segera setelah itu, sebagai simbol kembalinya Spirit Judaisme di palestina, didirikan
Hebrew University pada tanggal 24 Juli 1918 di Mount Scopus. Tempat dimana
titus menaklukan Jerusalem pada tahun 69 M.
Zionis benar-benar memanfaatkan Deklarasi Balfour. Setelah Kongres
Zionis Internasional pimpinan Weizmann, imigrasi yahudi ke palestina semakin
digalakan. Langkah ini sebagai upaya memperkuat posisi Yishuv (komunitas yahudi
di palestina). Setahun setelah kongres tersebut, jumlah yahudi di tanah
palestina sudah mencapai 83.794 orang.
Meningkat pesat pada tahun 1931 yang mencapai 174.616 orang. Dan
menjelang pembagian palestina oleh PBB tahun 1947, jumlah yahudi sudah mencapai
608.255 orang. Jumlah yang cukup banyak jika dibandingkan dengan penduduk asli
palestina yang berjumlah 1.237.332 orang.
Jumlah masyarakat yahudi yang kian
hari kian bertambah membuat mereka semakin berani. Dengan menggunakan taktik kekerasan dan teror, pada
tahun 1939 mereka mengkonsolidasikan pengawasan dan penguasaan seluruh wilayah
palestina dengan kekuatan diplomasi dan militer.
Pada tanggal 29 November 1947, PBB mengeluarkan resolusi PBB No. 181
yang membagi wilayah Palestina sebesar 54% kepada bangsa yahudi yang pada waktu
itu hanya berjumlah 30% dari jumlah rakyat Palestina, dan 45% kepada bangsa
arab, sedangkan 1% yaitu Al-Quds dijadikan wilayah internasional.
Resolusi mendapat protes keras dari bangsa-bangsa arab. Namun PBB tak
bergeming. Akibatnya, 14 Mei 1948 secara berani dan ilegal Yahudi
memproklamirkan berdirinya negara israel di tanah merdeka dan syah Palestina.
Sehari kemudian, negara baru yang ilegal tersebut diserbu oleh bangsa-bangsa
arab yang tak terima dengan dijajahnya plestina. Negara itu diantaranya adalah
Iraq, Suriah, Mesir, Yordania, Lebanon, dan negara arab lainnya.
Selain negara-negara tersebut, terlibat pula di dalamnya organisasi
massa. Setidak ada 3 organisasi yang tergabung diantaranya:
1. Pasukan Al-Jihad Al-Muqaddas, Adalah sebuah pasukan yang dibentuk
oleh Lembaga Tinggi Arab untuk Palestina dan dipimpin oleh Abdul Qadir Al-Husaini
yang tewas dalam pertempuran Al-Qasthal pada 8 April 1948. Pasukan ini terdiri
dari kurang lebih 10.000 tentara dengan persenjataan yang tergolong kurang, karena
para pemimpin organisasi-organisasi arab bersekongkol dengan Lembaga Tinggi
Arab untuk tidak menyalurkan bantuan berupa senjata ataupun uang kepada mereka.
2. Pasukan Al-Inqadz. Pasukan ini berdiri berdasarkan ketetapan dari Al-Jamiah–Al
Arabiyah. Mayoritas pionernya adalah sukarelawan dari negara-negara arab. Jumlah
sukarelawan yang terdaftar dalam pasukan ini kurang lebih adalah 10.000 orang, akan
tetapi yang berhasil masuk wilayah Mesir hanya sekitar 4.630 tentara.
3. Al-Ikhwan Al-Muslimun. Keikutsertaan Al-Ikhwan Al-Muslimun pada
perang Arab-Israel tahun 1948 menjadi salah satu contoh terbaik bagi gerakan
dan organisasi arab yang memperjuangkan keutuhan umat islam. Para pengikut
gerakan ini bersatu dari berbagai negara seperti Mesir, Yordania dan Iraq untuk
mengadakan mobilisasi masa bersar-besaran dan mengumpulkan bantuan harta benda
juga senjata untuk para tentara di Palestina.
Sayang bangsa arab harus mengakui
kekalahan mereka. Kekalahan dalam peperangan ini disebabkan beberapa faktor
diantaranya adalah kondisi militer yang belum cukup kuat dan berpengalaman
serta ekonomi yang lemah. Di
lain pihak bangsa yahudi mendapat bantuan dan dukungan internasional dari
negara-negara yang merasa diuntungkan dengan berdirinya negara Israel. Selain
itu, pihak yahudi Selain itu, pihak
yahudi berhasil menyusupkan beberapa utusannya untuk membuat konflik internal
di tubuh bangsa arab dan mengacaukan konsentrasi mereka.
Perang akhirnya berakhir dengan ditandatanganinya gencatan senjata
antara Israel dan Negara-negara arab tetangganya pada tahun 1949. Dalam
perjanjian tersebut juga disepakati batas baru wilayah Negara Israel (green
line) yang diakui secara internasional. Batas baru Negara Israel yang
disepakati ini termasuk wilayah yang berhasil dikuasai Israel daram perang 1948
(sebagian wilayah yang tadinya diperuntukkan sebagai Negara palestina merdeka).
Pada tahun 1956, Mesir berulah. Mesir melarang kapal-kapal Israel melintasi
perairan Tiran dan memblokade teluk aqaba. Tindakan yang dianggap sebagai
pelanggaran terhadap konvensi konstantinopel tahun 1888 dan mencederai gencatan
senjata 1949 dengan Israel. Pada tanggal 26 Juli 1956 Mesir menasionalisasi
terusan suez dan melarang kapal-kapal Israel melintas.
Pada tanggal 29 Oktober 1956, Israel yang merasa bahwa Mesir mencederai
perjanjian 1949 dan berusaha membunuh perekonomian Israel meminta bantuan dari
Inggris dan Perancis (yang sakit hati atas nasionalisasi terusan suez) untuk
mengeroyok Mesir. Dalam konflik terusan suez ini Israel berhasil menduduki Gaza
(yang dalam perjanjian 49 merupakan wilayah Mesir) dan Sinai.
PBB dan Amerika Serikat turun
tangan untuk menghentikan konflik yang terjadi. Israel bersedia mundur dari wilayah
Mesir yang baru diduduki. Mesir mengijinkan kembali kapal-kapal Israel melintasi terusan suez dan membuka blokade aqaba serta
melakukan demiliterisasi di wilayah Sinai. Pasukan internasional PBB dengan nama UNEF dibentuk untuk mengawasi
wilayah demiliterisasi.
Namun
pada tahun 1967, lagi-lagi mesir berulah. Mesir mengusir pasukan internasional
dan menggelar 100.000 pasukan di semenanjung Sinai serta kembali melakukan
blokade dan pelarangan atas kapal-kapal Israel untuk melintasi Tiran straits. Mesir
mengembalikan keadaan seperti tahun 1956 ketika Israel diblokade.
Tahun 1966-1967 pemimpin Mesir Gamal Abd Nasser melakukan kampanye
mencari dukungan dari pan-Arab untuk menaklukkan Israel dan mengusir Yahudi. Pada
30 Mei 1967 Jordan masuk dalam pakta pertahanan yang sebelumnya dibentuk oleh
Mesir dan Syria. Dengan persenjataan modern dari Soviet, Mesir melakukan
mobilisasi pasukan di Sinai dan melintasi batas demiliterisasi yang disepakati (setelah
mengusir pasukan PBB) dan mendekati perbatasan selatan Israel.
Dalam perang yang terkenal dengan sebutan perang enam hari tersebut
Israel berhasil mengalahkan negara-negara arab tetangganya yang mengepungnya. Ketika
perang berakhir, Israel berhasil menguasai West Bank dan Jerusalem timur (yang
tadinya dikuasai Jordan) serta Gaza dan Sinai (yang dikuasai Mesir) dan dataran
tinggi Golan.
Pada tahun 1969 mesir kembali memulai perang dengan tujuan melemahkan
kekuatan Israel di Sinai. Namun perang ini berakhir dengan kematian Nasser.
Pada 6 Oktober 1973 Mesir dibawah pemimpin baru Anwar Sadat dan Syria
melakukan serangan mendadak dan berhasil mengalahkan Israel. Mesir berhasil
menguasai kembali sinai yang sempat dicaplok Israel
Ketika pasukan Mesir hendak masuk Israel, Israel meminta bantuan dari
Amerika Serikat (meskipun sejak awal Amerika Serikat merupakan backing kekuatan
Israel). Soviet yang menjadi backing kekuatan Mesir mengancam akan
melakukan intervensi militer jika Amerika terlibat. Karena khawatir akan
terjadinya perang nuklir, Amerika Serikat akhirnya memprakarsai gencatan
senjata pada 25 Oktober 1973.
Pada bulan Maret 1979 Mesir dan Israel akhirnya melakukan perjanjian
damai. Dalam perjanjian juga disebutkan bahwa Sinai kembali menjadi wilayah
kekuasaan Mesir, adapun Gaza tetap berada dibawah kontrol Israel dan masuk
dalam rencana masa depan Palestina. Pada bulan Oktober 1994, Jordan juga
akhirnya melakukan perjanjian damai dengan Israel. Mesir dan Jordan menjadi dua
Negara arab yang mengakui eksistensi Negara Israel dan memiliki hubungan
diplomatik dengannya.
Rangkaian perang beruntun ini jelas telah menghabiskan banyak energi
bagi Israel dalam rangka mempertahankan eksistensinya di Palestina. Oleh
karennya, harus ada tindakan preventif untuk mencegah perang terulang.
Satu-satunya jalan adalah
menghancurkan benih-benih perlawanan sebelum mereka terlanjur besar.
Ketika mesir kehilangan tokoh yang
bisa diajak berkompromi dengan israel
dan muncul kekuatan baru yang dipolopori Ikhwanul Muslimin, muncul kekhawatiran
israel .
Mengingat sejarah berbicara
bagaimana mesir begitu sering mengusik eksistensi israel di Palestina. Terlebih
yang duduk di pucuk pimpinan Mesir adalah seorang hafidz Al-Qur’an yang
berafiliasi langsung dengan Ikwanul Muslimin.
Sejarah juga mencatat bagaimana gencarnya Ikhwanul Muslimin melakukan
perlawanan. Di setiap perang arab, Ikhwanul Muslimin selalu berperan serta. Inilah
mengapa sebelum Mursi memegang tampuk pimpinan Ikhwanul Muslimin selalu
dipersulit. Bahkan Presiden Gamal Abdel Nassar di tahun 1954 telah mencoba
menghancurkan Ikhwanul Muslimin. Ia juga memenjarakan ribuan anggota Ikhwanul
Muslimin. Dan ini tak lepas dari lobi Israel di Mesir.
Kekuatan massif Ikhwanul Muslimin menjadi momok menakutkan bagi israel. Terlebih
kebijakan-kebijakan Mursi yang sangat tidak populer di mata Israel. Mursi
berani menghilangkan ketergantungan atas bantuan militer AS yang kemudian
berinteraksi dengan Rusia dan Jerman. Hasilnya, dalam dua bulan saja telah
dikirim dua kapal selam tercanggih dari Jerman. Langkah ini diprotes keras oleh
Israel.
Selain itu, Mursi juga melakukan revitalisasi Terusan Suez. Ia mengganti
direksi yang mengelola Pelabuhan Suez yang di era Mubarak menghasilkan
pemasukan sebanyak 5,6 miliar dolar AS per tahun. Mursi menargetkan Suez
sebagai hub ekonomi global dengan penghasilan meningkat 100 miliar dolar AS per
tahun. Akibatnya mengancam perdagangan di Dubai dan Kuwait.
Politik cerdas Mursi dicermati betul oleh PM Israel Benyamin Netanyahu. Menurutnya,
“Sikap Mursi jauh lebih berbahaya daripada nuklir Iran”. Sementara itu
pemerintah AS memuji inisiatif Mursi memfasilitasi gencatan senjata antara
Hamas dan Israel, hingga terbukanya perbatasan Rafah mengakhiri blokade Jalur
Gaza.
Karena itulah maka mau tidak mau Mesir harus dihancurkan! Ia harus
menyusul Iraq, Afganistan, Suriah, dan negara-negara arab lainnya. Karena
bagaimanapun, Mesir tidak bisa diajak kompromi selagi Mursi masih membawa-bawa
Ikhwanul Muslimin dalam setiap sikap politiknya. Setidaknya mayoritas Ikhwanul
Muslimin dan warga mesir mendukungnya.
Demikian halnya dengan suriah. Dendam kesumat israel begitu membuncah
pada Masir dan Suriah. Maka keduanya harus diporakporandakan. Di Mesir, tidak
ada golongan yang bisa dipuci untuk konflik. Tidak demikian di Suriah. Sejak
awal Sunni dan Syi’ah memang tidak pernah menyatu. Maka israel melihat ini
sebuah peluang. Dipantiklah konflik antara kedua golongan ini. Hasilnya? Suriah
berdarah-darah sekarang.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari masalah ini adalah: siapa saja yang
berani mengusik eksistensi israel di Palestina, maka bersiaplah mendapat
hukuman. Kita hanya bisa berharap pada Allah. Selain itu, NO WAY. Isi Protokol
Zion sudah benar-benar dijalankan dengan sempurna. Saat ini hampir tidak ada
lagi sendi yang tidak berafiliasi ke israel.
Tapi bukan tidak mungkin. Masih ada di kolong bumi ini yang masih
memegang teguh Islam. Buktinya masih ada kelompok dan individu yang berani
menyuarakan perlawanan pada hegemoni yahudi.
Semoga kita satu diantaranya. Amiin…
Abu Azizah <azizahazmin@gmail.com>
No comments :
Post a Comment